Jumat, 22 Mei 2009

SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

SUMBER ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

Pada abad-abad awal ketika peradaban islam pada puncaknya, cendikiawan Muslim mendekati pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan. Beberapa ilmu yag berbeda tlah dilihat dalam perspektif tunggal, dan depandang saling berhubungan sebagaimana cabang-cabang pohon pengetahuan. Seluruh tujuan-tujuan ilmu dipandang sebagai penemuan-penemuan desatuan dan koherensi di dalam dunia alam. Sesuai dengan itu, sumber seluruh ilmu dipandang satu. Untuk memahami berbagai tingkat dan taraf eksistensi, mereka menggunakan pendekatan eksperimental di samping pendekatan intelektual dan intuitif. Selama periode itu kita menemukan sejumlah contoh para sarjana yang mengkombinasikan otoritas de dalam ilmu-ilmu agama dengan pengetahuan ensiklopedik ilmu-ilmu kealaman. Orang-orang seperti Ibnu Sina, Umar Khayyam, Khwajah Nashir Al-Din Thusi dan Quthb Al-Din Syirazi, adalah beberapa di antara banyak nama.1 Selama visi dan perspektif inilah yang mengatur kesarjanaan dan ilmu orang islam, mereka berada di barisan muka peradaban manusia, dan kota-kota mereka menjadi pusat-pusat studi yang terspesialisasi.

Sebenarnya banyak lagi filsof-filsof islam yang sebelum dan sesudah mereka tersebut di atas. Mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu alamiyah akan tetapi mereka juga bagaimana mereka mengombinasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu alam. Ketika mereka telah menemukan sebuah fenomena alamiyah maka mereka tidak hanya terputus sampai di situ. Mereka banyak mempelajari Al-Qur’an dan juga banyak mempelajari fenomena-fenomena dan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa alam yang kemudian di konfrontasikan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian Al-Qur’an adalah merupakan salah satu bagian sumber ilmu pengetahuan dalam islam.

Sayyid Quthb ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an 35:16 “Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu)” ia mengatakan bahwa “Dalam ayat ini, bentuk atau pokok masalah ilmu tidak di sebutkan, sebab ia melihat ilmu secara umum. Lebih dari itu, ayat ini menyiratkan arti bahwa seluruh bentuk ilmu di anggap pemberian Allah, dan seorang manusia terdidik harus menyadari asal ilmunya dan menghadapkan wajahnya kepada Allah untuk bersyukur. Dia juga harus menggunakannya untuk meraih ridha Allah yang telah menganugerahkan ilmu itu kepadanya. Karena itu, ilmu tidak boleh mengalangi hubungan manusia dan pencipta, karena ilmu merupakan pemberian-Nya. Ilmu yang memisahkan hati manusia dan Allah, tidak berarti apa-apa kecuali penyimpangan dan penyelewengan dari asalnya dan akan melupakan tujuannya. Dia tidak akan membawa kebagiaan baik kepada pemiliknya maupun kepada yang lain, dan hanya menjadi sebab kekejaman, ketakutan, kecemasan dan kehancuran, karena ia telah sesat arahny, terasing dari arahnya, dan telah kehilangan jalannya menuju Allah”.2

Menurut Al-Qur’an, mempelajari kitab alam akan mengungkapkan rahasia-rahasianya kepada manusia dan menampakkan koherensi (keterpaduan), konsistensi, dan aturan di dalamnya. Ini akan memungkinkan manusia untuk menggunakan ilmunya sebagai perantarauntuk menggali kekayaan-kekayaan dan sumber-sumber yang tersembunyi di dalam alam dan mencapai kesejahteraan material lewat penemuan-penemuan ilmiahnya. Tuhan telah menunjuk manusia sebagai wakil dan khalifah-Nya di atas bumi dan diberinya kesempatan-kesempatan yang tidak terbatas. Ia harus mengenal potensi-potensi dirinya, memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu, dan memperoleh kekuatan dan kebijaksanaan yang sesuai dengan peranannya sebagai seorang wakil Allah dan sebuah tanda kebijaksanaan dan kamahatahuan-Nya.

Kalau kita ingat terhadap hadits Rasulullah, “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke-negeri Cina”. Sebenarnya islam itu tidak pasif dan tidak menutup diri dalam masalah-masalah cara mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena pada waktu itu neger cina belum mengenal agama islam atau belum islam. Dan juga haditsnya lihatlah apa yang di bicarakan dan jangan melihat siapa berbicara. Dengan dasar-dasar itulah untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tidak hanya Al-Qur’an yang menjadi sumber pengetahuan menurut islam. Jadi islam juga mengadopsi ilmu-ilmu pengetahuan yang datang luar islam. Karena dalam Al-Qur’an mengakui potensi-potensi yang terdapat pada manusia yang di topang oleh dua faktor yang kuat. Peratama, menggunakan dan memanfaatkan pengalaman orang lain baik dari kalangan generasi dulu maupun kini. Kedua, menggunakan akal dan pengalaman kita dalam upaya mencari kebenaran agar keta mendapat petunjuk dan hidayah yang orang lain tidak mendapatkannya. Dan menurut ungkapan Al-Qur’an, yang pertama melalui pendengaran dan yang kedua dengan akal.3

Selanjutnya pembahasan kita tentang aliran-aliran ilmu pengetahuan barat yang dapat yang mungkin dapat di pelajari untuk menunjang ilmu-ilmu pengetahuan dalam islam sebagai berikut: Pertama, Rasionalisme (Descartes-Spinoza-Leibniz), aliran ini mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan, yaitu lewat cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. Kaitannya dengan ini, dalam Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk selalu berpikir dengan menggunakan akal. Kata yang di gunakan Al-Qur’an dalam bentuk kata kerja yang di sebutkan oleh para ulama kira-kira ada 30 ayat dalam Al-Qur’an.4 Dan bukan hanya ini yang membicarakan kedudukan akal akan tetapi banyak lagi yang membahas tentang fungsi akal pada manusia. Jadi Al-Qur’an tidak menafikan fungsi akal yang di berikan kepada manusia dan karena akallah manusia mengetahui dirinya dan orang lain.

Kedua, Empirisme (John Locke), aliran ini lebih menekankan pada pranan pengalaman empiris dalam memproleh pangetahuan tertentu, dan lebih menekankan pada mengecilkan fungsi akal. Paham ini mengatakan bahwa jiwa manusia, tatkala manusia di lahirkan, dalam keadaan kosong seperti tabula rasa kertas putih yang belum ada tulisan sama sekali, dan setiap idea yang di perolehnya datang dari pengalaman-pengalaman.5 Dalam hadits Rasulullah juga menyebutnya bahwa setiap anak yang di lahirkan itu adalah dalam keadaan suci, tergantung kedua orang tuanya yang akan menjadikan dia nasrani, majuzi dan sebagainya. Tetapi dalam islam tidak serta-merta diserahkan pada pemahaman empiris yang membentuk kepribadian manusia. Kata “suci” di situ di maksudkan sebagai potensi yang ada pada manusia sebagai pemberian Allah.

Ketiga, Positivisme (August Comte, 1798-1857), aliran yang mengkonfrontasikan antara aliran empirisme dan rasionalisme. Aliran ini berpendapat bahwa alat indera amatlah penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus di pertajam dengan alat bantu dan diperkut dengan eksprimentasi. Kekeliruan indera akan dapat di koreksi lewat eksprimen. Dan apa yang terlintas dalam pikiran harus bisa di buktikan secara empiris. Dalam islam tidak hanya bisa di buktikan dengan indera saja akan tetapi juga bisa di rasakan dengan perasaan karena perasaan yang bisa mendatangkan kepuasan terhadap apa yang sedang di hadapinya.

Keempat, Intuisionisme (Henri Brigson, 1859-1941), aliran yang mengakui terhadap lemahnya atau terbatasnya indera dan akal. Obyek-obyek yang kita tangkap itu adalah obyek yang selalu berubah. Karenanya, pengetahuan kita tentang itu tidak pernah tetap. Intelek atau akal juga terbatas. Akal dapat mengetahui sesuatu jikalau dikonsentarasikan ke obyeknya. Tetapi ia tidak dapat mengetahui secara keseluruhannya. Seperti, apakah adil ? jawaban akal akan selalu subyektif. Demikian juga indera yang tidak sepenuhnya selalu obyektif kebenarannya.

Dengan keterbatasan indera dan akal di sini, mungkin juga manusia dapat mencapai kebenaran dan keobyektifannya melalui cara yang levelnya lebih tinggi menurut islam yaitu intuisi (Ilham)6. Karena teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya bersih talah dari segala dosa telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Allah SWT. Dan intuisi ini adalah merupakan gerak hati yang paling dalam7. Dengan demikian intuisi ini kebenarannya tidak dapat diujui dengan ukuran pengalaman inderawi dan juga dengan akal pikiran. Karena itu tidak berlaku untuk umum, hanya orang-orang tertentu yang bisi melakukannya.

Dapat di simpulkan bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan dalam islam ialah Pertama, Wahyu, dimana wahyu di sini dalam islam yang berbertuk teks di sebut Al-Qur’an dan Al-Qur’an inilah dalam islam yang berperan sebagai petunjuk dan pegangan hidup. Dan ini hanya di berikan kepada hamba-Nya yang telah di pilih-Nya. Kedua, Ilham, ilham hanya di proleh dengan cara membersihkan hati dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak semua orang bisa. Ketiga, kesaksian orang lain, yang dengan kesaksian orang lain tidak mengharuskan semua orang mencobanya. Keempat, akal pikiran dan pancaidera atau pengalaman.



1 Lihat Buku yang berjudul “Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran” karya Prof. Dr. Harun Nasution. Munculnya Filsof-Filsof Islam pada abad Ke 8 sampai abad Ke 13. Hal. 103.

2 Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an. Dr. Mahdi Ghulsyani. Hal. 56.

3 Membahas tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan menurut Al-Qur’an baik di prolihnya secara akal (Rasionalisme) maupun secara pengalaman (Empirisisme). Prof. Ali Abdul Azhim, Falsafat al-Ma’rifat fi al-Qur’an al-Karim, yang diterjemah oleh Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim. Hal. 16-38.

4 Lihat Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Hal. 139-141.

5 Lihat Nufal Ramzi, pembahasannya tentang Empirisme. Hal. 16.

6 Lihat Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Hal. 22-23.

7 Filsafat Ilmu Pengetahuan, Suparlan Suhartono, Ph.D. Hal. 71.

PERAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

PERAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

“Kajian Kritis Terhadap Klasifikasi Ilmu Menurut Al- Ghazali”

A. Pendahuluan

Ketika Al- Qur’an di jadikan sebagai petunjuk oleh ummat islam pada khususnya dan sebagai pegangan hidup, maka Al- Qur’an tentunya banyak mengandung ilmu pengetahuan di dalamnya. Al- Qur’an juga bisa di katakan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian Al- Qur’an juga harus bisa di buktikan kebenarannya oleh siapa pun di dunia ini. Ketika keberadaan Al- Qur’an seperti itu, maka Al- Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk dan pegangan hidup saja akan tetapi sebagai juga dasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan Al- Qur’an sebagai kajian keilmuan yang tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu teologi saja, akan tetapi harus bersifat universal.

Al- Qur’an juga banyak menghasilkan ulama-ulama terkemuka yang tidak hanya cenderung pada pembahasan ilmu-ilmu teologi, akan tetapi juga menghasilkan ilmu-ilmu tentang kemasyarakatan dan kealaman (kosmos). Seperti ulama-ulama yang di catat oleh sejarah di antaranya, Al- Farabi menghasilkan di bidang ilmu Astronomi, AT- Thabari di bidang ilmu kedokteran dan AT- Thabari ini juga sebagai ulama Tafsir yang sangat spektakuler pendapat-pendapatnya sampai sekarang. Dan banyak lagi ulama-ulama islam yang banyak menghasilkan ilmu-limu selain yang tersebut di atas seperti ilmu kimia, giografi, optik, hewan, matematika, fiqih, akidah, hadits dan tasawuf.

Ketika kita mengingat sejarah ummat islam terdahulu betapa mulianya dan betapa agungnya Al- Qur’an ketika Al- Qur’an di jadikan sebagai dasar atau undang-undang dalam sebuah pemerintahan. Dan apabila ada di antara pejabat pemerintahan melanggar aturan pemerintah lalu di hukum sesuai dengan perintah-perintah Al- Qur’an. Alangkah maju dan makmurnya sebuah negara pada waktu itu. Dan kita sebagai ummat islam yang juga Al- Qur’an sebagai dasar dan pegangan hidup sepantasnya tidak hanya bisa bernustalgia dengan sejarah kemajuan ummat islam yang telah lalu. Kita juga harus mempertahankan kemajuan-kemajuan yang di capai oleh ulama-ulama kita terdahulu dan kita sebagai penerus mereka.

Sebagian orang menyangka bahwa ketika sebuah negara berdasarkan wahyu akan lebih langgeng dari pada negara yang melarang adanya campur tangan wahyu. Karena negara yang berdasarkan wahyu akan memperoleh petunjuk dan jauh dari siksaan serta akan mendapatkan ketentraman yang jauh dari kekhawatiran-khawatiran. Akan tetapi kalau kita melihat keadaan umat islam sekarang kenyataannya menjadi mayoritas umat yang terbelakang. Kita dapat memperhatikan dan mempelajari bagaimana mayoritas umat islam menjadi terhalang dari berkah agama karena dua hal: Pertama, hati nurani yang menyimpang. Kedua, mengkultuskan akal pikiran.

Dari kedua sebab itulah kita akan jauh dan terhindar dari penggalian roh Al- Qur’an yang di dalamnya banyak mengandung ilmu pengetahuan dan akan bergeser kepada mala petaka yang akan terjadi. Berkaitan dengan ilmu pengetahuan Al- Qur’an bukan hanya memberi kabar tentang adanya ilmu pengetahuan, akan tetapi Al- Qur’an memerintahkan kita untuk mencarinya. Bahkan hadits Nabi SAW. juga mewajibkan kita untuk mencari ilmu pengetahuan.

B. Kajian Kritis Terhadap Klasifikasi Ilmu Menurut Al-Ghazali

Ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab “Ilm” dalam bahasa Inggris di artikan science sedangkan dalam bahasa Indonesia di artikan pengetahuan. Sebenarnya antara kata Ilmu dan pengetahuan dalam bahasa Inggris ada perbedaan arti. Pengetahuan dalam bahasa Inggris di artikan knowledge. Seperti pernyataan Charles Singer tentang arti ilmu: “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Dan Herbert L. Searles memperlihatkan ciri-ciri perbedaan Ilmu dengan pengetahuan: “kalau Ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa kerena ciri sistematisnya”. Dengan demikian sebenarnya pengertian Ilmu dengan Pengetahuan itu sangat nampak perbedaannya.

Tetapi dalam perkembangannya di Indonesia pengetahuan sering di samakan dengan Ilmu artinya. Hal ini dapat di lihat dari beberapa pendapat berikut: “kata Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima’ yang berarti (ia telah mengetahui). Kata jadian ‘ilmu’ berarti: pengetahuan. Dan memang dalam bahasa Indonesia sehari-sehari ilmu di identikkan dengan pengetahuan”. Nawawi Dusky juga menulis dalam Buletin Dakwah: “Dan ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahuan“. Maka dari itulah secara arti, antara pengetahuan dan Ilmu bersinonim, walaupun dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan.

Selanjutnya pembahasan kita mengarah kepada Ilmu Pengetahuan dalam islam. Dalam islam ilmu pengetahuan sangat berarti untuk mendukung argumen dalam membela keutuhan dan kebenaran yang di sampaikan Al- Qur’an. Sehingga dalam haditsnya Rasulullah SAW mewajib umatnya untuk mencari ilmu mulai dari baru lahir kedunia sampai akhir hayatnya. Juga hadits Rasulullah yang berbunyi: “tuntutlah Ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. Kalau sekiranya ilmu tidak penting Rasulullah tidak menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina.

Ilmu pengetahuan dalam islam sudah menjadi suatu kepentingan yang paling mendasar sejak hari-hari pertama islam, akan tetapi apakah ada ilmu-ilmu khusus yang harus di cari ?. Bagaimana para ulama menyikapi bermacam-macamnya ilmu pengetahuan yang datang dari luar islam maupun yang datang dari dalam islam sendiri ?. Dari pertanyaan ini kita akan membahas klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Al- Ghazali dan bagaimana menurut para ulama yang lain.

Al- Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin ia memberikan klasifikasi kepada Ilmu yang wajib di cari dan Ilmu yang tidak wajib di carinya. Ia memandang bahwa Ilmu yang wajib di cari menurut Agama adalah di batasi oleh pelaksanaan kewajiban-kewajiban syari’at islam yang di ketahui secara pasti. Seperti orang yang pekerjaannya berternak ia wajib mempelajari ilmu tentang zakat. Atau orang yang pekerjaannya berdagang ia wajib mempelajari sistem riba, dan orang tersebut harus menyadari doktrin agama yang mengenainya, sehingga ia bisa terhindar darinya.

Beliau mengklasifikasikan Ilmu kepada dua kelompok yaitu: “Ilmu Agama” dan “Ilmu non-agama”. Yang di maksud “Ilmu agama” (ulum al-syar’i) adalah Ilmu datangnya atau di ajarkan oleh Nabi atau wahyu. Dan yang lainnya dimasukkan kedalam kelompok Ilmu-ilmu non-agama. Dari kelompok non-agama ini di bagi menjadi tiga bagian: ilmu yang terpuji (mahmud), ilmu yang boleh atau mubah (mubah) dan ilmu yang tercela (madzmum). Sejarah oleh Al- Ghazali di katagorikan kepada ilmu yang mubah, sihir di katagorikan kepada ilmu yang tercela. Sedangkan yang di kelompokkan kepada Ilmu-ilmu yang terpuji dan yang penting dalam kehidupan sehari-hari adalah di masukkan kepada wajib kifayah. Seperti Ilmu tentang pengobatan, matematika dan kerajinan-kerajinan yang di perlukan oleh masyarakat luas.

Ilmu agama juga di klasifikasikan kepada dua kelompok: kelompok ilmu agama yang terpuji (mahmud) dan kelompok ilmu agama yang tercela (madzmum). Namun yang di maksud dengan ilmu yang tercela adalah ilmu yang tampaknya mengarah kepada syari’ah, akan tetapi sebenarnya ia menyimpang dari ajaran-ajaran islam. Dan yang termasuk kedalam ilmu-ilmu yang terpuji di kelompokkan kepada empat bagian: Pertama, Ilmu Ushul yaitu mengenai dasar-dasar seperti Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau konsensus dan tradisi para shahabat Nabi SAW. Kedua, Ilmu Furu’ yaitu masalah-masalah cabang seperti fiqih, etika dan pengalaman mistik. Ketiga, Ilmu pengantar seperti qaidah, sharraf, bahasa Arab dan lain sebagainya. Keempat, Ilmu pelengkap seperti membaca dan menerjemahkan Al-Qur’an, mempelajari perinsip-perinsip fiqih, penyelidikan terhadap rawi hadits dan lain sebagainya. Dan dari empat kelompok ini di masukkan kedalam ilmu pengetahuan yang wajib kifayah. Yaitu sesuatu yang wajib atas keseluruhan masyarakat selama kewajiban untuk memenuhi kebutuhan sosial tersebut masih ada, tapi setelah kewajiban tersebut telah di laksanakan oleh sejumlah individu, maka otomatis yang lainnya menjadi terbebas dari kewajiban itu. Ringkasnya, pandangan Al-Ghazali adalah bahwa seseorang yang tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu itu, jika telah ada orang lain yang mempelajarinya, dan jika melakukannya juga, maka ia tidak mempergunakannya pada seluruh kehidupannya untuk mempelajarinya, karena menurut Al-Ghazali Ilmu itu sangat luas, sedangkan hidup itu singkat. Ilmu adalah permulaan, dan tidak berakhir dalam dirinya sendiri.

Ketika Al-Ghazali mengklasifikasikan Ilmu kepada Ilmu agama dan Ilmu non-agama dan di keduanya ada yang tercela dan ada yang terpuji. Bagaimana dengan sejarah Rasulullah yang pada waktu itu yang dihadapi bukan hanya masalah teologi saja akan juga masalah kemasyarakatan atau sosial. Dan tentunya pada waktu itu bukan hanya ilmu agama saja yang lakukan oleh Rasulullah, tapi ilmu yang dari non-islam juga masuk untuk memajukan islam. Sehingga Rasulullah menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu walaupun ke negeri cina. Dan dalam Al-Qur’an juga di singgung bahwa orang yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Dari keterangan ini tidak terdapat klasifikasi mengenai wajibnya mencari ilmu.

Shadr Al-Din Syirazi dalam komentarnya bahwa ia tidak sepakat dengan pendapat Al-Ghazali yang mengklasifikasikan wajibnya mencari ilmu bagi seorang muslim. Ia memandang bahwa wajibnya mencari ilmu bagi seorang muslim itu tidak terbatas kepada masalah-masalah ketuhanan dan keagamaan saja, akan tetapi ia memandang juga kepada ilmu-ilmu kemasyarakatan. Karena sesuatu yang wajib di pelajari setiap orang tidak berarti wajib bagi setiap orang dan juga sebaliknya. Dengan alasan bahwa hadits yang berbunyi, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Karena dalam hadits ini tidak ada di tentukan klasifikasi ilmu yang wajib di cari oleh seorang muslim baik orang yang belum mempunyai ilmu maupun orang yang sudah alim, tua maupun anak-anak. Dan setiap orang muslim tidak akan terlepas dari tanggung jawab wajibnya mencari ilmu. Ia mengatakan bahwa ilmu itu adalah laksana cahaya, maka dari itu ilmu selalu dibutuhkan. Karena ilmu tercela itu tergantung kepada orang yang memakainya, ketika seseorang mempunyai ilmu dan dipergunakan kepada hal-hal yang jelik maka ilmu itu menjadi jelik dan apabila ilmu dipergunakan kepada hal-hal yang baik maka ilmu itu akan menjadi baik pula.

Sebagaiman juga yang di katakan oleh Allamah faydh Kasyani, bahwa ia juga meragukan terhadap pendapat Al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yaitu, “ilmu agama” dan “ilmu nonagama”. Ia mengatakan bahwa ketika ada klasifikasi ilmu seperti itu, ada kemungkinan akan terjadi kesalahan pandangan terhadap ilmu dan ilmu nonagama nanti akan terpisahkan dari islam bisa dengan kata lain tidak ada islamisasi ilmu. Dan akan bertentangan dengan Al-Qur’an yang bersifat universal. Dengan demikian juga agama islam harus bersifat universal.

Jadi menurut dia ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim untuk mencarinya adalah ilmu yang dapat mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan yang bisa mengantarnya kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, sifat-sifat Tuhan dan hal-hal yang menyebabkan semakin dekat kepada Allah. Tingkatan-tingkatan mencari ilmu berbeda antara seseorang dengan lainnya sesuai dengan keahliannya masing-masing. Bahkan untuk seseorang, tahap pencapainya berubah sejalan dengan perkembangannya. Karena itu tidak pembatasan dalam pencarian kelompok ilmu ini, dan tahap apapun yang telah di capai oleh seseorang, masih wajib baginya untuk meraih tingkat yang lebih tinggi.

Dengan demikian apa yang di katakan oleh Allamah Faydh Kasyani sepertinya mendekati kepada kebenaran dalam kewajiban mencari ilmu. Karena dilihat dari beberapa hadits Rasulullah yang bunyinya, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga” dan “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri cina”. Kalau melihat bunyi hadits yang kedua, di sini tidak ada klasifikasi dalam wajibnya mencari ilmu, karena pada waktu itu negeri cina bukan negeri islam dan pertanyaannya mengapa nabi menyuruh orang islam untuk mencari ilmu kenegeri yang belum menjadi negeri islam ?. Maka dari itulah semua ilmu itu wajib di carinya bagi umat islam selama masih dalam rangka mengangkat posisi manusia kepada pengetahuan dan pada hari akhirat, mendekatkan diri kepada Allah dan mencari rida Allah SWT.

C. Kesimpulan

Ketika kita melihat terhadap pendapat yang di sampaikan oleh Al-Ghazali bahwa ilmu yang wajib dicarinya hanya terbatas kepada ilmu-ilmu yang berkenaan dengan masalah ketuhanan dan mu’amalah syari’ah saja. Dan ia juga mengatakan bahwa mengklasifikasikan ilmu itu kepada dua bagian yaitu “ilmu agama” dan “ilmu non-agama” dan di antara keduanya di bagi lagi yaitu ada ilmu yang baik, ilmu yang tercela dan ilmu yang mubah dan dari klasifikasi ilmu ini oleh Al-Ghazali dimasukkan kepada golongan wajib kifayah.

Kemudian di sanggah oleh Shadr Al-Din Syirazi bahwa wajibnya mencari ilmu itu tidak terbatas kepada hal-hal yang bersifat teologi atau syari’at saja, akan tetapi ilmu apa saja yang dapat mengangkat manusia di hari akhirat itu wajib untuk mencarinya bagi setiap orang islam. Dan pendapat ini di perkuat oleh Allamah Faydh Kasyani bahwa ilmu sekiranya dapat mendekatkan diri kepada Allah, maka orang islam itu wajib untuk mencarinya. Dan ilmu tersebut bisa memberikan pengetahuan kepada sifat-sifat Tuhannya, utusan-utusan-Nya, para rasul-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dan hanya untuk mencari ridha-Nya.

Dari kedua konsep di atas antara konsep Al-Ghazali dengan Shadr Al-Din Syirazi dan Allamah Faydh Kasyani tentang wajibnya mencari ilmu mereka ini sama-sama untuk memelihara agama islam. Al-Ghazali cenderung untuk mempersempit dalam memperoleh ilmu pengetahuan, karena dengan adanya klasifikasi khawatir ada liberalisasi ilmu pengetahuan. Dan tidak adanya penyelewengan konsep dalam mencari ilmu pengetahuan dan tetap berdasarkan aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh syari’at. Sedangkan Shadr Al-Din Syirazi dan Allamah Faydh Kasyani ini memberikan keleluasaan dalam wajibnya mencari ilmu pengetahuan ini juga demi untuk memajukan islam dan mempertahankan kejayaan umat islam, sehingga umat islam mampu dalam pesaingan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan orang-orang kafir dan tidak mudah di dzaliminya. Sebenarnya sama juga dengan Rasulullah yang pernah melarang kaumnya untuk berziyarah ke kuburan, akan tetapi pada akhir-akhir dakwahnya beliau memperbolehkannya, karena sudah di mungkinkan kuat tauhidnya. Dari analogi ini kita bisa memakai konsep yang kedua selama kita masih dalam rangka mempertahankan islam dan dengan tidak adanya kemungkinan-kemungkinan yang lain.

ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN

ILMU PENGETAHUAN

DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Ilmu pengetahuan sebagai tolak ukur kita dalam melakukan tugas kemanusiaan sehari-hari. Ketika seorang manusia telah memiliki sedikit ilmu pengetahuan ia akan selalu terarah kehidupannya dengan adanya ilmu pengetahuannya. Ia menghadapi masalah-masalah yang mengenai dirinya dengan tenang hati dan jiwa. Banyak orang yang menyambutnya dan menghormatinya serta tunduk kepadanya kualitas keilmuannya. Dan banyak orang yang berandai-andai untuk menyamai dan mengejar ketinggian ilmunya. Dan dengan ilmu pula seseorang bisa menduduki pangkat yang lebih tinggi serta mendapatkan kekuasaan dan menjadi seorang penguasa dalam sebuah negara.

Dalam Al-Qur’an banyak juga kita jumpai ayat-ayat yang mendorong kita sebagai umat islam untuk selalu belajar dan memahami alam semesta ini. Al-Qur’an juga banyak membahas tentang keadaan dan kondisi alam. Dari keadaan dan kondisi alam inilah kita akan banyak mendapatkan ilmu-ilmu tentang alam. Karena alam semesta ini dapat di pahami dan di teliti secara mendetil oleh manusia kapan dan di mana saja. Akan tetapi setelah seseorang mendapatkan ilmu-ilmu dari alam ini, hendak kemana mereka dan di pergunakan untuk apa oleh mereka. Apakah hanya untuk menaklukkan dunia atau mungkin hanya sekedar untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan pertanyaan-pertanyaan inilah hendaknya kita bisa merenungkan dan mengaplikasikan ilmu-ilmu yang di dapat dengan baik dan benar.

Ketika kita mengingat terhadap apa yang sampaikan oleh Al-Qur’an bahwa manusia di utus kebumi adalah sebagai khalifah.(1) Sebagaimana Al-Qur’an menyebutnya dalam surat Al-Baqarah ayat 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi(2) dan juga dalam surat Fatir ayat 39, “Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, kekafirannya membaliki kepada dirinya sendiri ….(3). Dengan demikian kita berada di muka bumi ini tidak lain adalah sebagai pemimpin yang tugasnya memelihara bumi dan isinya. Dan kita sebagai umat manusia tidak harus terlepas dengan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.

Kata khalifah ketika di maksudkan dengan pemimpin di muka bumi, maka seorang manusia harus bertanggungjawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin tidak harus menguasai sehingga cenderung menafikan dan merusaSk terhadap yang lainnya. Khalifah layaknya seorang pemimpin yang berbuat adil (bersikap luhur dan bertanggungjawab) terhadap rakyatnya. Demikian juga kita sebagai khalifah berhak untuk memelihara lingkungan yang ada di sekitarnya.

Kemudian mengenai tujuan ilmu pengetahuan dalam islam adalah tidak lain yaitu hanya untuk mengetahui Tuhan dan segala apa yang di cipta oleh-Nya. Jadi pada dasarnya seorang manusia dalam mencari ilmu menurut islam tidak hanya bertujuan untuk mengetahui kejadian-kejadian alam, akan tetapi di samping itu juga bagaimana seorang manusia bisa mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Sebagaimana yang di katakan oleh Ali Kattani(4) bahwa seorang manusia di tuntut memperlakukan dan menggunakan ilmu pengetahuannya tidak hanya mengenal terhadap kejadian-kejadian alam semesta saja, akan tetapi juga dengan ilmu pengetahuannya manusia bisa memberikan pelayanan yang baik terhadap manusia yang lainnya dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Juga sebagaimana perkataan yang di sampaikan oleh Allamah Faydh Kasyani, “Ilmu yang di wajibkan kepada setiap muslim untuk mencarinya adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada Hari Akhirat, dan yang mengantarkan kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan-utusannya Allah, pemimpin-pemimpin islam, sifat-sifat Tuhan, Hari Akhirat, dan hal-hal yang menyebabkannya dekat kepada Allah”.(5) Jadi mencari ilmu pengetahuan tidak hanya semata-mata bertujuan untuk mendapatkan kebahagian dunia tetapi juga bertujuan untuk mendapatkan keberuntungan di Akhirat kelak. Dan juga bertujuan untuk mengenalkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagaimana yang di firmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Jasiyah ayat 4: “Dan pada penciptaan kalian dan pada binatang-binatang yang melata itu terdapat ayat-ayat bagi kaum yang meyakini”.(6)

Dengan demikian ilmu yang sebenarnya dalam agama islam adalah apabila ilmu pengetahuan itu di jadikan sebagai petunjuk dalam rangka bertambahnya keimanan seseorang kepada Tuhan-Nya. Sebagaimana cita-cita Al-Qur’an dalam sebuah firman-Nya surat Al-Hajj ayat 54; “Dan agar orang-orang yang telah di beri ilmu, meyakini bahwasanya Al-Qur’an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hari mereka kepada-Nya dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus”.(7) Demikianlah Al-Qur’an menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bisa membuahkan iman dan keimanan membuahkan kekhusyu’an dan tawadhu’ kepada Allah SWT.

Jadi menurut penulis konsep ilmu dalam perspektif islam sangat berbeda dengan konsep ilmu barat. Karena dalam islam lebih luas wilayah jelajahnya, yaitu segala ilmu yang membawa dampak nilai guna, baik pengetahuan empiris maupun non empiris, wujud material maupun wujud spiritual (rohani). Zaitun(8) mengatakan bahwa ilmu dalam perspektif islam mempunyai empat karakter yaitu : 1) Objektif, artinya bahwa ilmu itu tidak di arahkan kepada kemauan hawa nafsu, subjektivitas, bias, fanatisme dan seterusnya. 2) Kerendahan hati, artinya adalah menjauhkan dari sikap arogansi intelektual, kerena manusia kemampuannya terbatas. 3) Kemanfa’atan, ilmu yang berguna baik dari aspek empiris maupun non empiris dala aspek aqidah dan akhlak. 4) Keajekan atau terus-menerus, artinya ilmu itu harus di cari terus-menerus di mana saja dan kapan saja tanpa mengenal batas dan waktu.

Merujuk pada kata khalifah di atas, manusia sebagai penerima ilmu pengetahuan ia tidak akan lepas dari tanggungjawabnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Ia harus melaksanakan apa yang telah di cita-citakan oleh Al-Qur’an yaitu seperti apa yang di cirikan oleh Zaitun tadi. Dalam Al-Qur’an mencontohkan orang yang ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad SAW. yang oleh kebanyakan orang muslim di sebagai Manusia yang sempurna atau manusia universal.

Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefinisikan manusia yang benar-benar dan terpelajar dalam perspektif islam (beradab) adalah “Orang yang baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab dirinya kepada Tuhan yang haq, yang memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kearah kesempurnaan sebagai manusia yang beradab”.(9) Sebagaimana juga Hadits Rasulullah yang berbunyi: “Aku di utus kedunia tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Jadi dalam perspektif islam ilmu pengetahuan itu adalah bagaiman dengan ilmu pengetahuannya manusia bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah dan juga dalam rangka untuk mendapatkan ridha-Nya kelak di Akhirat. Dalam islam ilmu pengetahuan di jadikan sebagai media/instrumen untuk mengenal dan mendapatkan ridha-Nya. Sehingga dengan ilmu pengetahuan manusia bisa bertambah kadar keimanannya dan melahirkan kekhusu’an dan yang menjadikan ia tawadhu’ hatinya kepada-Nya. Di samping itu juga manusia yang memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi bisa memberikan pelayanan yang baik dan sopan beradab kepada seluruh manusia. Maka dengan demikian, baru dikatakan manusia yang sempurna dan universal sebagaimana layaknya Nabi Muhammad SAW. yang di gambarkan oleh Al-Qur’an dan di sebutnya sebagai khalifah di muka bumi.



(1) Lihat Suparlan Suhartono, M.Ed., Ph.D. “Filsafat Ilmu Pengetahuan; Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan”. Hal. 165-171

(2) Lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI “AL-JUMATUL ALI: Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur” Hal. 7

(3) Ibid., Hal. 440

(4) Kutipan dalam sebuah Artikelnya M. Zainuddin, termasuk salah satu dosen tetap dan Kepala Unit Penerbitan STAIN Malang, Majalah el-HARAKAH; Wacana Kependidikan, Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 57, Tahun XXII, Desember – Pebruari 2002. Hal. 36

(5) Lihat Filsafat-Sains menurut Al-Qur’an, Oleh Dr. Mahdi Ghulsyani, Hal. 44

(6) Lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI “AL-JUMATUL ALI: Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur” Hal. 500

(7) Ibid., Hal. 339

(8) Sebuah kutipan dalam Artikelnya M. Zainuddin, termasuk salah satu dosen tetap dan Kepala Unit Penerbitan STAIN Malang, Majalah el-HARAKAH; Wacana Kependidikan, Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi 57, Tahun XXII, Desember – Pebruari 2002. Hal. 37-38

(9) Sebuah kutipan langsung dalam Artikelnya Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, “KONSEP AL-ATTAS TENTANG TA’DIB (Gagasan Pendidikan Yang Tepat dan Konprehensif dalam Islam)”, Majalah Pemikiran dan Peradaban “ISLAMIA”, Membangun Peradaban Islam Dari Dewesternisasi Kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Th.I, No 6, Juli – September 2005, Hal. 77