Jumat, 22 Mei 2009

PERAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

PERAN ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

“Kajian Kritis Terhadap Klasifikasi Ilmu Menurut Al- Ghazali”

A. Pendahuluan

Ketika Al- Qur’an di jadikan sebagai petunjuk oleh ummat islam pada khususnya dan sebagai pegangan hidup, maka Al- Qur’an tentunya banyak mengandung ilmu pengetahuan di dalamnya. Al- Qur’an juga bisa di katakan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan demikian Al- Qur’an juga harus bisa di buktikan kebenarannya oleh siapa pun di dunia ini. Ketika keberadaan Al- Qur’an seperti itu, maka Al- Qur’an tidak hanya sebagai petunjuk dan pegangan hidup saja akan tetapi sebagai juga dasar untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan Al- Qur’an sebagai kajian keilmuan yang tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu teologi saja, akan tetapi harus bersifat universal.

Al- Qur’an juga banyak menghasilkan ulama-ulama terkemuka yang tidak hanya cenderung pada pembahasan ilmu-ilmu teologi, akan tetapi juga menghasilkan ilmu-ilmu tentang kemasyarakatan dan kealaman (kosmos). Seperti ulama-ulama yang di catat oleh sejarah di antaranya, Al- Farabi menghasilkan di bidang ilmu Astronomi, AT- Thabari di bidang ilmu kedokteran dan AT- Thabari ini juga sebagai ulama Tafsir yang sangat spektakuler pendapat-pendapatnya sampai sekarang. Dan banyak lagi ulama-ulama islam yang banyak menghasilkan ilmu-limu selain yang tersebut di atas seperti ilmu kimia, giografi, optik, hewan, matematika, fiqih, akidah, hadits dan tasawuf.

Ketika kita mengingat sejarah ummat islam terdahulu betapa mulianya dan betapa agungnya Al- Qur’an ketika Al- Qur’an di jadikan sebagai dasar atau undang-undang dalam sebuah pemerintahan. Dan apabila ada di antara pejabat pemerintahan melanggar aturan pemerintah lalu di hukum sesuai dengan perintah-perintah Al- Qur’an. Alangkah maju dan makmurnya sebuah negara pada waktu itu. Dan kita sebagai ummat islam yang juga Al- Qur’an sebagai dasar dan pegangan hidup sepantasnya tidak hanya bisa bernustalgia dengan sejarah kemajuan ummat islam yang telah lalu. Kita juga harus mempertahankan kemajuan-kemajuan yang di capai oleh ulama-ulama kita terdahulu dan kita sebagai penerus mereka.

Sebagian orang menyangka bahwa ketika sebuah negara berdasarkan wahyu akan lebih langgeng dari pada negara yang melarang adanya campur tangan wahyu. Karena negara yang berdasarkan wahyu akan memperoleh petunjuk dan jauh dari siksaan serta akan mendapatkan ketentraman yang jauh dari kekhawatiran-khawatiran. Akan tetapi kalau kita melihat keadaan umat islam sekarang kenyataannya menjadi mayoritas umat yang terbelakang. Kita dapat memperhatikan dan mempelajari bagaimana mayoritas umat islam menjadi terhalang dari berkah agama karena dua hal: Pertama, hati nurani yang menyimpang. Kedua, mengkultuskan akal pikiran.

Dari kedua sebab itulah kita akan jauh dan terhindar dari penggalian roh Al- Qur’an yang di dalamnya banyak mengandung ilmu pengetahuan dan akan bergeser kepada mala petaka yang akan terjadi. Berkaitan dengan ilmu pengetahuan Al- Qur’an bukan hanya memberi kabar tentang adanya ilmu pengetahuan, akan tetapi Al- Qur’an memerintahkan kita untuk mencarinya. Bahkan hadits Nabi SAW. juga mewajibkan kita untuk mencari ilmu pengetahuan.

B. Kajian Kritis Terhadap Klasifikasi Ilmu Menurut Al-Ghazali

Ilmu adalah kata yang berasal dari bahasa Arab “Ilm” dalam bahasa Inggris di artikan science sedangkan dalam bahasa Indonesia di artikan pengetahuan. Sebenarnya antara kata Ilmu dan pengetahuan dalam bahasa Inggris ada perbedaan arti. Pengetahuan dalam bahasa Inggris di artikan knowledge. Seperti pernyataan Charles Singer tentang arti ilmu: “Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Dan Herbert L. Searles memperlihatkan ciri-ciri perbedaan Ilmu dengan pengetahuan: “kalau Ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan ciri empiris, maka ilmu berbeda dari pengetahuan biasa kerena ciri sistematisnya”. Dengan demikian sebenarnya pengertian Ilmu dengan Pengetahuan itu sangat nampak perbedaannya.

Tetapi dalam perkembangannya di Indonesia pengetahuan sering di samakan dengan Ilmu artinya. Hal ini dapat di lihat dari beberapa pendapat berikut: “kata Ilmu berasal dari bahasa Arab: ‘alima’ yang berarti (ia telah mengetahui). Kata jadian ‘ilmu’ berarti: pengetahuan. Dan memang dalam bahasa Indonesia sehari-sehari ilmu di identikkan dengan pengetahuan”. Nawawi Dusky juga menulis dalam Buletin Dakwah: “Dan ilmu yang berasal dari bahasa Arab ini artinya adalah pengetahuan“. Maka dari itulah secara arti, antara pengetahuan dan Ilmu bersinonim, walaupun dalam arti material keduanya mempunyai perbedaan.

Selanjutnya pembahasan kita mengarah kepada Ilmu Pengetahuan dalam islam. Dalam islam ilmu pengetahuan sangat berarti untuk mendukung argumen dalam membela keutuhan dan kebenaran yang di sampaikan Al- Qur’an. Sehingga dalam haditsnya Rasulullah SAW mewajib umatnya untuk mencari ilmu mulai dari baru lahir kedunia sampai akhir hayatnya. Juga hadits Rasulullah yang berbunyi: “tuntutlah Ilmu walaupun sampai ke negeri Cina”. Kalau sekiranya ilmu tidak penting Rasulullah tidak menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina.

Ilmu pengetahuan dalam islam sudah menjadi suatu kepentingan yang paling mendasar sejak hari-hari pertama islam, akan tetapi apakah ada ilmu-ilmu khusus yang harus di cari ?. Bagaimana para ulama menyikapi bermacam-macamnya ilmu pengetahuan yang datang dari luar islam maupun yang datang dari dalam islam sendiri ?. Dari pertanyaan ini kita akan membahas klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Al- Ghazali dan bagaimana menurut para ulama yang lain.

Al- Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin ia memberikan klasifikasi kepada Ilmu yang wajib di cari dan Ilmu yang tidak wajib di carinya. Ia memandang bahwa Ilmu yang wajib di cari menurut Agama adalah di batasi oleh pelaksanaan kewajiban-kewajiban syari’at islam yang di ketahui secara pasti. Seperti orang yang pekerjaannya berternak ia wajib mempelajari ilmu tentang zakat. Atau orang yang pekerjaannya berdagang ia wajib mempelajari sistem riba, dan orang tersebut harus menyadari doktrin agama yang mengenainya, sehingga ia bisa terhindar darinya.

Beliau mengklasifikasikan Ilmu kepada dua kelompok yaitu: “Ilmu Agama” dan “Ilmu non-agama”. Yang di maksud “Ilmu agama” (ulum al-syar’i) adalah Ilmu datangnya atau di ajarkan oleh Nabi atau wahyu. Dan yang lainnya dimasukkan kedalam kelompok Ilmu-ilmu non-agama. Dari kelompok non-agama ini di bagi menjadi tiga bagian: ilmu yang terpuji (mahmud), ilmu yang boleh atau mubah (mubah) dan ilmu yang tercela (madzmum). Sejarah oleh Al- Ghazali di katagorikan kepada ilmu yang mubah, sihir di katagorikan kepada ilmu yang tercela. Sedangkan yang di kelompokkan kepada Ilmu-ilmu yang terpuji dan yang penting dalam kehidupan sehari-hari adalah di masukkan kepada wajib kifayah. Seperti Ilmu tentang pengobatan, matematika dan kerajinan-kerajinan yang di perlukan oleh masyarakat luas.

Ilmu agama juga di klasifikasikan kepada dua kelompok: kelompok ilmu agama yang terpuji (mahmud) dan kelompok ilmu agama yang tercela (madzmum). Namun yang di maksud dengan ilmu yang tercela adalah ilmu yang tampaknya mengarah kepada syari’ah, akan tetapi sebenarnya ia menyimpang dari ajaran-ajaran islam. Dan yang termasuk kedalam ilmu-ilmu yang terpuji di kelompokkan kepada empat bagian: Pertama, Ilmu Ushul yaitu mengenai dasar-dasar seperti Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau konsensus dan tradisi para shahabat Nabi SAW. Kedua, Ilmu Furu’ yaitu masalah-masalah cabang seperti fiqih, etika dan pengalaman mistik. Ketiga, Ilmu pengantar seperti qaidah, sharraf, bahasa Arab dan lain sebagainya. Keempat, Ilmu pelengkap seperti membaca dan menerjemahkan Al-Qur’an, mempelajari perinsip-perinsip fiqih, penyelidikan terhadap rawi hadits dan lain sebagainya. Dan dari empat kelompok ini di masukkan kedalam ilmu pengetahuan yang wajib kifayah. Yaitu sesuatu yang wajib atas keseluruhan masyarakat selama kewajiban untuk memenuhi kebutuhan sosial tersebut masih ada, tapi setelah kewajiban tersebut telah di laksanakan oleh sejumlah individu, maka otomatis yang lainnya menjadi terbebas dari kewajiban itu. Ringkasnya, pandangan Al-Ghazali adalah bahwa seseorang yang tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu itu, jika telah ada orang lain yang mempelajarinya, dan jika melakukannya juga, maka ia tidak mempergunakannya pada seluruh kehidupannya untuk mempelajarinya, karena menurut Al-Ghazali Ilmu itu sangat luas, sedangkan hidup itu singkat. Ilmu adalah permulaan, dan tidak berakhir dalam dirinya sendiri.

Ketika Al-Ghazali mengklasifikasikan Ilmu kepada Ilmu agama dan Ilmu non-agama dan di keduanya ada yang tercela dan ada yang terpuji. Bagaimana dengan sejarah Rasulullah yang pada waktu itu yang dihadapi bukan hanya masalah teologi saja akan juga masalah kemasyarakatan atau sosial. Dan tentunya pada waktu itu bukan hanya ilmu agama saja yang lakukan oleh Rasulullah, tapi ilmu yang dari non-islam juga masuk untuk memajukan islam. Sehingga Rasulullah menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu walaupun ke negeri cina. Dan dalam Al-Qur’an juga di singgung bahwa orang yang takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berilmu. Dari keterangan ini tidak terdapat klasifikasi mengenai wajibnya mencari ilmu.

Shadr Al-Din Syirazi dalam komentarnya bahwa ia tidak sepakat dengan pendapat Al-Ghazali yang mengklasifikasikan wajibnya mencari ilmu bagi seorang muslim. Ia memandang bahwa wajibnya mencari ilmu bagi seorang muslim itu tidak terbatas kepada masalah-masalah ketuhanan dan keagamaan saja, akan tetapi ia memandang juga kepada ilmu-ilmu kemasyarakatan. Karena sesuatu yang wajib di pelajari setiap orang tidak berarti wajib bagi setiap orang dan juga sebaliknya. Dengan alasan bahwa hadits yang berbunyi, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan”. Karena dalam hadits ini tidak ada di tentukan klasifikasi ilmu yang wajib di cari oleh seorang muslim baik orang yang belum mempunyai ilmu maupun orang yang sudah alim, tua maupun anak-anak. Dan setiap orang muslim tidak akan terlepas dari tanggung jawab wajibnya mencari ilmu. Ia mengatakan bahwa ilmu itu adalah laksana cahaya, maka dari itu ilmu selalu dibutuhkan. Karena ilmu tercela itu tergantung kepada orang yang memakainya, ketika seseorang mempunyai ilmu dan dipergunakan kepada hal-hal yang jelik maka ilmu itu menjadi jelik dan apabila ilmu dipergunakan kepada hal-hal yang baik maka ilmu itu akan menjadi baik pula.

Sebagaiman juga yang di katakan oleh Allamah faydh Kasyani, bahwa ia juga meragukan terhadap pendapat Al-Ghazali tentang klasifikasi ilmu yaitu, “ilmu agama” dan “ilmu nonagama”. Ia mengatakan bahwa ketika ada klasifikasi ilmu seperti itu, ada kemungkinan akan terjadi kesalahan pandangan terhadap ilmu dan ilmu nonagama nanti akan terpisahkan dari islam bisa dengan kata lain tidak ada islamisasi ilmu. Dan akan bertentangan dengan Al-Qur’an yang bersifat universal. Dengan demikian juga agama islam harus bersifat universal.

Jadi menurut dia ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim untuk mencarinya adalah ilmu yang dapat mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan yang bisa mengantarnya kepada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, sifat-sifat Tuhan dan hal-hal yang menyebabkan semakin dekat kepada Allah. Tingkatan-tingkatan mencari ilmu berbeda antara seseorang dengan lainnya sesuai dengan keahliannya masing-masing. Bahkan untuk seseorang, tahap pencapainya berubah sejalan dengan perkembangannya. Karena itu tidak pembatasan dalam pencarian kelompok ilmu ini, dan tahap apapun yang telah di capai oleh seseorang, masih wajib baginya untuk meraih tingkat yang lebih tinggi.

Dengan demikian apa yang di katakan oleh Allamah Faydh Kasyani sepertinya mendekati kepada kebenaran dalam kewajiban mencari ilmu. Karena dilihat dari beberapa hadits Rasulullah yang bunyinya, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan jalannya ke surga” dan “Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri cina”. Kalau melihat bunyi hadits yang kedua, di sini tidak ada klasifikasi dalam wajibnya mencari ilmu, karena pada waktu itu negeri cina bukan negeri islam dan pertanyaannya mengapa nabi menyuruh orang islam untuk mencari ilmu kenegeri yang belum menjadi negeri islam ?. Maka dari itulah semua ilmu itu wajib di carinya bagi umat islam selama masih dalam rangka mengangkat posisi manusia kepada pengetahuan dan pada hari akhirat, mendekatkan diri kepada Allah dan mencari rida Allah SWT.

C. Kesimpulan

Ketika kita melihat terhadap pendapat yang di sampaikan oleh Al-Ghazali bahwa ilmu yang wajib dicarinya hanya terbatas kepada ilmu-ilmu yang berkenaan dengan masalah ketuhanan dan mu’amalah syari’ah saja. Dan ia juga mengatakan bahwa mengklasifikasikan ilmu itu kepada dua bagian yaitu “ilmu agama” dan “ilmu non-agama” dan di antara keduanya di bagi lagi yaitu ada ilmu yang baik, ilmu yang tercela dan ilmu yang mubah dan dari klasifikasi ilmu ini oleh Al-Ghazali dimasukkan kepada golongan wajib kifayah.

Kemudian di sanggah oleh Shadr Al-Din Syirazi bahwa wajibnya mencari ilmu itu tidak terbatas kepada hal-hal yang bersifat teologi atau syari’at saja, akan tetapi ilmu apa saja yang dapat mengangkat manusia di hari akhirat itu wajib untuk mencarinya bagi setiap orang islam. Dan pendapat ini di perkuat oleh Allamah Faydh Kasyani bahwa ilmu sekiranya dapat mendekatkan diri kepada Allah, maka orang islam itu wajib untuk mencarinya. Dan ilmu tersebut bisa memberikan pengetahuan kepada sifat-sifat Tuhannya, utusan-utusan-Nya, para rasul-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dan hanya untuk mencari ridha-Nya.

Dari kedua konsep di atas antara konsep Al-Ghazali dengan Shadr Al-Din Syirazi dan Allamah Faydh Kasyani tentang wajibnya mencari ilmu mereka ini sama-sama untuk memelihara agama islam. Al-Ghazali cenderung untuk mempersempit dalam memperoleh ilmu pengetahuan, karena dengan adanya klasifikasi khawatir ada liberalisasi ilmu pengetahuan. Dan tidak adanya penyelewengan konsep dalam mencari ilmu pengetahuan dan tetap berdasarkan aturan-aturan yang telah di tetapkan oleh syari’at. Sedangkan Shadr Al-Din Syirazi dan Allamah Faydh Kasyani ini memberikan keleluasaan dalam wajibnya mencari ilmu pengetahuan ini juga demi untuk memajukan islam dan mempertahankan kejayaan umat islam, sehingga umat islam mampu dalam pesaingan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan orang-orang kafir dan tidak mudah di dzaliminya. Sebenarnya sama juga dengan Rasulullah yang pernah melarang kaumnya untuk berziyarah ke kuburan, akan tetapi pada akhir-akhir dakwahnya beliau memperbolehkannya, karena sudah di mungkinkan kuat tauhidnya. Dari analogi ini kita bisa memakai konsep yang kedua selama kita masih dalam rangka mempertahankan islam dan dengan tidak adanya kemungkinan-kemungkinan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar